5.12.07

Al Ilmu First!

ILMU SEBELUM BERKATA DAN BERAMAL
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran. (QS Az-Zumar 9)
Kita semua sepakat bahwa sebuah gedung yang tinggi pasti memerlukan banyak ahli ilmu teknik bangunan yang mereka benar-benar ahli alias berilmu dalam bidangnya dan berpengalaman agar gedung itu berdiri dengan kuat, kokoh dan awet. Juga seseorang yang mengobati penyakit haruslah berpendidikan kesehatan (dokter). Namun ketika orang-orang ditanya bagaimanakah membangun umat Islam ini? Maka mayoritas orang tidak terlalu memikirkan bagaimana kapasitas da’i pembangun umat ini apakah mereka berilmu tentang dien /agamanya yang akan dida’wakan atau tidak? Dan ini adalah musibah... Innalillahi wa innailaihi rojiun.

Ilmu merupakan sandi terpenting dari hikmah. Sebab itu, Allah memerintahkan manusia agar mencari ilmu atau berilmu sebelum berkata dan beramal, firman Allah:
Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Illah selain Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu serta bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha & tempat tinggalmu. (QS Muhammad 19)
--Imam Bukhari membicarakan masalah ini dalam kitab Shahih-nya pada bab khusus, yakni bab “Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal”--

Sehubungan dengan ini Allah memerintahkan Nabi-Nya dengan dua hal, yaitu berilmu lalu beramal, atau berilmu sebelum beramal. Hal ini dapat kita lihat dari susunan ayat di atas, yaitu: 'Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada illah melainkan Allah' Ayat ini menunjukkan perintah untuk berilmu. Selanjutnya perintah ini diikuti perintah beramal, yaitu: '…Dan mohonlah ampunan bagi dosamu…' Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa urutan ilmu mendahului urutan amal. Ilmu merupakan syarat keabsahan perkataan dan perbuatan. Shahihnya amal karena shahihnya ilmu. Disamping, itu ilmu merupakan tempat tegaknya dalil.

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang disampaikan Rasul shallallahu'alaihi wasallam atau bisa juga ilmu yang bukan dari Rasul shallallahu'alaihi wasallam, yaitu ilmu-ilmu yang di luar masalah diniyah (agama), misalnya beberapa segi ilmu kedokteran, pertanian dan perdagangan.

Seorang da’i tidak dikatakan bijaksana, kecuali bila ia memahami ilmu syar’i. Jika dari awal hingga akhir perjalanan dakwahnya ia tidak melalui jalur ilmu ini, ia akan kehilangan jalan petunjuk dan keberuntungan. Inilah konsensus orang arif. Tidak diragukan lagi bahwa pembenci ilmu adalah penyamun dan pelaku perbuatan iblis dan pengawalnya.

Begitu pula seorang yang tergabung dalam sebuah organisasi Dakwah, jika ia tidak mengetahui ilmu syar’i atau tidak mempelajarinya dengan benar, maka apa yang ingin ia dakwahkan? Jangan-jangan yang ia dakwah-kan selama ini adalah salah.

Karena banyak sekali diantara orang-orang yang tergabung di organisasi dakwah, hanya bermodal semangat yang tinggi saja, atau bermodal pengetahuan Islam yang didapatnya dari membaca koran atau berita di TV atau apa-apa yang dikerjakan oleh nenek moyang mereka, padahal berita-berita itu belum tentu benar dan apa-apa yang dikerjakan nenek moyang kita belum tentu benar menurut apa yang diturunkan Allah dan diajarkan Rasul-Nya.
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah". Mereka menjawab: "(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk” (QS Al-Baqarah 170)
Jika ditanya tentang berita-berita aktual yang melibatkan kaum muslimin atau masalah politik, maka akan dijawabnya dengan lancar dan jelas. Namun jika ditanya tentang aqidah, tauhid dan ilmu syar’i lainnya, ia tidak tahu….atau jika ia malu untuk menjawab tidak tahu, ia menjawabnya dengan pendapatnya atau akalnya semata, tanpa dasar dalil yang jelas, sehingga akan muncul perkara-perkara baru dalam agama (bid’ah) yang sesat dan menyesatkan.
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta dari hamba-Nya, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama, hingga manakala Dia tidak menyisakan satu orang alimpun (dalam riwayat lain: Hingga manakala tidak tertinggal satu orang alim pun), manusia akan menjadikan pemimpin-pemimpin dari orang-orang yang bodoh, maka tatkala mereka akan ditanya (tentang masalah agama), lalu mereka akan ber-fatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhari dalam al Ilmu 1/234 dan Muslim dalam al-Ilmu 16/223)
Jika seorang muslim tidak mengerti yang mana yang halal dan mana yang haram, mana yang tauhid dan mana yang syirik, mana yang sunnah dan mana yang bid’ah, maka kemungkinan besar orang ini akan menyimpang dalam beragama.

Yang seperti ini tidaklah benar, hendaknya seorang muslim benar-benar mempelajari terlebih dahulu apa yang ingin diamalkan.

Pada kenyataannya ilmu itu memang teramat penting dan menentukan, oleh karena itu ia mesti men-jadi hal pertama untuk dimengerti.

Mengapa ilmu? Apakah ilmu dan apakah batasannya?

Dikatakan oleh imam Asy-Syathibi bahwa: “Ilmu yang dikehendaki di sini maksudnya ialah agar supaya terjadinya amal-amal perbuatan dalam wujud nyatanya sejalan dengan ilmu tersebut tanpa ada perselisihan, baik amal-amal itu merupakan perbuatan hati, lidah maupun anggota badan

Dengan demikian jika suatu perbuatan biasanya berlangsung sejalan dengan ilmunya tanpa ada perselisihan sedikitpun antara keduanya, berarti dalam kaitan ini ia merupakan ilmu sebenarnya, kalau tidak berarti bukan ilmu karena tiada kesesuaian antara keduanya (teori dengan kenyataan -pen). Berarti hal ini bathil, sebab kebalikan ilmu adalah jahil (bodoh)”

Syaikh Abil Izzi Al Hanafi menyatakan bahwa: “Ilmu yang paling mulia adalah ilmu ushuluddin (pokok-pokok dien), karena tolok ukur mulianya sebuah ilmu tergantung pada kemulian yang mesti diilmui. Kebutuhan manusia kepada ilmu ini diatas kebutuhan penting lainnya, karena tiada hakekat hidup bagi hati dan tiada kenikmatan serta ketenteraman kecuali apabila ia mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, lengkap dengan Asma’, Shifat serta perbuatan-perbuatan (Rubbubiyah)-nya. Akan tetapi adalah mustahil jika akal (fitrah) semata-mata dapat memahami rincian semua persoalan ushuluddin di atas. Oleh karenanya Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Kasih Sayang dengan segala hkmah serta kebijaksanaan-Nya mengutus para utusan-Nya supaya mengenalkan Allah pada umatnya dan mendakwahi mereka supaya mengabdi kepada-Nya. Allah menjadikan kunci serta intisari dakwah yang dilakukan oleh para Rasul itu ialah: Ma’rifat (mengenal) terhadap Allah lengkap dengan hak Ilahiyah, Asma’, Shifat serta perbuatan-perbuatan-Nya. Inilah tuntutan risalah para nabi semenjak nabi pertama hingga nabi terakhir.”

Pada sisi lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Risalah Nabi meliputi dua hal yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih", sebagaimana terdapat dalam firman Allah:
Dialah Allah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) al Huda/ petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS At Taubah 33)
Al Huda pada ayat di atas ialah: ilmu yang bermanfaat sedangkan Dienul Haq ialah amal shalih yang terdiri dari ikhlas karena Allah dan mutaba’ah (ittiba’) kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam.

Dengan ilmu inilah bakal tegak dienullah baik secara perkataan, perbuatan maupun keyakinan.

Cara mendapatkan ilmu
  1. Berdo’a kepada Allah “…Dan katakanlah,’Wahai Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS Thaha 114)
  2. Bersungguh-sungguh dan berkeingi-nan keras dalam mencari ilmu, serta dengan mengharap ridha Allah. Imam Syafi’i mengatakan. “Kamu tidak akan memperoleh ilmu, kecuali dengan enam hal: kecerdasan, gemar belajar, sungguh-sungguh, memiliki biaya, bergaul dengan guru dan perlu waktu lama
  3. Menjauhi segala maksiat dengan bertakwa kepada Allah. “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan/ pembeda…” (QS Al Anfal 29)
  4. Tidak sombong dan tidak malu dalam mencari ilmu.
    Aisyah pernah mengatakan, “Wanita terbaik adalah wanita kaum Anshar, karena mereka tidak malu bertanya tentang agama.”
  5. Ikhlas dalam mencari ilmu. Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
    Barang siapa belajar suatu ilmu yang terkait dengan maksud karena Allah, tetapi dipelajari untuk tujuan keuntungan dunia, maka dia tidak akan mencium harumnya surga pada hari kiamat.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)
  6. Mengamalkan ilmu. Mungkin kita lupa sabda nabi tentang keutamaan ilmu Islam yang disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim hadist dari Mu’awiyah yang berkata aku mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah membuatnya memahami agama.”
Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah akan diberi ilmu, sehingga ia akan mampu membedakan yang hak dan yang bathil.

Berdasarkan penjelasan di atas maka mestinya setiap hamba Allah mengkaji ulang kembali adakah ilmu yang diyakini itu sudah benar, atau mungkin ilmunya itu sekedar angan-angan kosong belaka?

Sungguh aneh dan ironis jika seorang berniat akan beribadah terus selama hidupnya kepada Allah, tapi ia tidak mau tahu cara ibadah yang benar yang diajarkan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam.

Oleh karena itu marilah kita bersama-sama untuk mengkaji apa-apa yang dibutuhkan sebagai hamba Allah agar kita tidak menyesal nantinya. Ingat umur kita yang hanya hidup sebentar di dunia dan kekal di akherat.

Wallahu A’lam
www.Salafyoon.cjb.net


  • Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu agama, pasti Allah membuat mudah baginya jalan menuju syurga” (HR Muslim)
  • “Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan, maka Allah membuatnya faqih (faham) agama” (Muttafaqun ‘alaih)