15.1.07

Hukum Membaca Al Qur’an & Bacaan Shalat di Dalam Hati (Tanpa Menggerakkan Lisan)?

Libatkan Lisan!
Soal #1
Apakah wajib menggerakkan lisan saat membaca Al Quran dan bacaan-bacaan dalam shalat, ataukah cukup mengucapkannya di dalam hati?
Jawab
Mengucapkan bacaan Al-Qur’an harus dengan menggerakkan lisan. Jika seseorang mengucapkannya dalam hati ketika shalat, maka hal itu tidak sah.

Demikian pula seluruh bacaan shalat, tidak sah jika diucapkan dalam hati. Dia harus menggerakkan lisannya & kedua bibirnya, karena “bacaan” adalah perkataan. Dan perkataan tidak mungkin terwujud kecuali dengan menggerakkan lisan serta kedua bibir.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam “Majmu’ Fatawa” 13/156.

Soal #2
Assalamu’alaykum. Ustadz, saya sering melihat orang-orang di sekitar saya mengerjakan shalat tanpa menggerakkan mulutnya sama sekali kecuali saat takbiratul ihram dan salam. Ketika saya tanya apakah mereka membaca surat al-Fatihah, mereka menjawab, “Ya, dalam hati.” Bolehkah membaca bacaan shalat dalam hati? Jika tidak, bagaimana hukum shalat orang-orang yang hanya membaca bacaan shalat dalam hati? Apa hukum membaca doa shalat dalam hati? (Abdulfattah -Solo)
Jawab
Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuhu.

Alhamdulillah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan oleh Alloh kepada Rasululloh s.a.w., para sahabat dan seluruh pengikut Beliau s.a.w. sampai hari Kiamat.

Jumhur ulama menyatakan bahwa bacaan dalam shalat ada yang merupakan rukun yaitu takbiratul ihram dan membaca surat al-Fatihah yang apabila ditinggalkan -baik sengaja maupun tidak- maka shalatnya batal; ada yang berupa wajib seperti membaca tasyahhud dan shalawat yang apabila sengaja ditinggalkan maka shalatnya batal, namun jika tidak sengaja tidak batal tetapi disunnahkan melakukan sujud sahwi; dan ada pula yang berupa sunnah seperti membaca doa iftitah, membaca surat setelah al-fatihah, yang jika ditinggalkan tidak mempengaruhi keabsahan shalat.

Para ulama -bukan hanya jumhur atau kebanyakan mereka- sepakat bahwa yang dimaksud dengan membaca adalah melafalkan huruf-huruf dengan memberikan hak masing-masing huruf -dalam hal ini huruf hijaiyah- dengan semestinya. Bahkan sebagian mereka berpendapat, harus sampai dirinya dapat mendengar bacaannya sendiri, kecuali ada suara bising dari luar.

Imam Malik pernah ditanya mengenai seseorang yang membaca al-Qur`an di dalam shalat, namun tidak ada yang dapat mendengarnya termasuk dirinya sendiri. Dia tidak menggerakkan lisannya. Imam Malik menjawab, “Itu bukan membaca. Membaca itu menggerakkan lisan.”

Al-Kasani -seorang ahli fiqh madzhab Hanafi- menyatakan, “Membaca itu harus dengan menggerakkan lisan melafalkan huruf. Jika seseorang yang mengerjakan shalat mampu melakukan hal itu namun tidak melakukannya, maka shalatnya tidak benar.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin juga pernah ditanya mengenai wajibnya menggerakkan lisan saat membaca bacaan-bacaan shalat. Beliau menjawab, “Membaca itu harus dengan lisan. Jika seseorang membaca (takbiratul ihram dan al-Fatihah) hanya dalam hati, maka shalatnya tidak sah. Begitu pun dengan semua dzikir. (Agar sah dan bernilai pahala) harus dilafalkan dengan lisan dan tidak cukup hanya dalam hati. Harus ada gerakan lisan dan bibir. Itulah yang disebut bacaan.

Dus, mari kita ingatkan saudara-saudara kita yang umumnya mereka belum tahu bahwa membaca bacaan shalat itu harus dengan menggerakkan lisan dan bibir. Wallahu al-muwaffiq.


Bacaan Shalat Tanpa Menggerakkan Lisan (Bibir & Lidah), Bolehkah?

Dalil Pertama
Abu Mu’ammar berkata, “Kami bertanya kepada Khabbab, ‘Apakah Rasulullah membaca (mengucapkan bacaan shalat) dalam shalat Zuhur dan Asar?’ ‘Ya, benar,’ jawabnya. ‘Bagaimana kalian mengetahuinya?’ tanya kami lagi. ‘Dari gerakan jenggotnya,’ jawabnya" (HR Bukhari: 746)
Dalil Kedua
Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Nabi membaca Ummul Kitab dan dua surat dalam dua rakaat shalat Zuhur. Sedangkan di dua rakaat berikutnya, beliau membaca Ummul Kitab. Beliau memperdengarkan bacaan ayat kepada kami. (HR Bukhari: 776 dan Muslim: 451)
Dalil Ketiga
Muhammad bin Rusyd berkata, “Menurut pendapat yang benar, bacaan seseorang di dalam hati tanpa gerakan mulut bukanlah bacaan. Karena, bacaan adalah ucapan dengan mulut. Hukuman pun akan dikenakan bila telah diucapkan di mulut. Dalilnya adalah firman Allah: ...Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya...” (Al-Baqarah: 286) Serta sabda Nabi:Allah memaafkan umatnya dari apa yang terlintas dalam hatinya selama tidak diucapkan maupun dikerjakan. (HR Muslim)"
Manusia juga tidak akan dihukum karena bacaan atau kebaikan yang dibisikkan di dalam hati, sebagaimana mereka dihukumi karena bacaan yang digerakkan oleh mulut atau perbuatan baik. (Al-Qawlu Al-Mubiin fî Akhthaa’i Al-Mushalliin: 98)

Jadi, meskipun tujuannya ingin meraih rasa khusyu yang sempurna, bacaan shalat tidak semestinya dibaca di dalam hati saja. Namun lisan atau bibir juga harus digerakkan karena demikianlah Rasulullah SAW mengajarkannya. Jika tidak menggerakkan bibir karena ingin mencapai rasa khusyu aja tidak dibenarkan apalagi dilakukan karena ada rasa malas. Wallahu ‘alam bis shawab!

Referensi Lainnya...
  • Allah Ta’ala berfirman, “… karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu dalam shalat) dari al-Qur’an.” (QS al-Muzzammil: 20)
  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat seseorang jika tidak membaca al-Fatihah.” (HR Bukhari, Muslim & Baihaqi)
  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika mengajari seseorang shalat, “Apabila kamu melaksanakan shalat, maka bacalah takbir, lalu bacalah apa yang mudah menurut kamu dari ayat Al-Qur’an…” (HR Abu Daud dan Al-Baihaqy dari jalannya, hadits hasan
  • Firman Allah Ta’ala, “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya.” (QS al-Qiyamah: 16)
  • Para ulama yang melarang orang junub membaca ayat al-Qur’an, memperbolehkannya melintaskan bacaan ayat di dalam hati. Sebab dengan sekedar melintaskan bacaan ayat di dalam hati tidak digolongkan membaca. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Orang yang sedang junub, haidh dan nifas boleh melintaskan bacaan ayat al-Qur’an di dalam hati tanpa melafadzkannya. Begitu juga dia diperbolehkan melihat mushaf sambil membacanya dalam hati.” (al-Adzkaar hal 10) 
  • Muhammad ibn Rusyd berkata, “Adapun seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan melafadzkannya di mulut. Dengan suara hati inilah perbuatan manusia tidak dianggap hukumnya. Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, “Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dilakukannya.” (QS al-Baqarah: 286)"
  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah mengampuni dari umatku tehadap apa yang masih terjadi di dalam jiwa (hati) mereka.” (Hadits shahih. Lihat Irwaa’ul Ghalil (VII/139) nomor 2062) 
  • Mengenai keras bacaan seseorang dalam shalatnya, Imam asy-Syafi’i berkata di dalam kitab al-Umm, “Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada di sampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.” Para ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa orang yang bisu tidak sejak lahir – karena mengalami kecelakaan di masa perkembangan – wajib menggerakan mulutnya ketika membaca lafadz takbir, ayat-ayat al-Qur’an, doa tasyahud dan lain sebagainya. Karena dengan berbuat demikian dia telah dianggap melafadzkan dan menggerakan mulut. Sebab perbuatan yang tidak mampu dikerjakan akan dimaafkan, akan tetapi selagi masih mampu diperbuat maka harus dilakukan. (Lihat Fataawaa al-Ramli (I/140) dan Hasyiyah Qulyubiy (I/143)) 
  • Mayoritas ulama lebih memilih untuk mensyaratkan bacaan minimal bisa didengar oleh diri pembaca sendiri. Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki cukup menggerakan mulut saja ketika membaca ayat-ayat al-Qur’an. Namun lebih baik jika sampai bisa didengar oleh dirinya sendiri sebagai upaya menghindar dari perselisihan pendapat. (Lihat ad-Diin al-Khaalish (II/143))
Rujukan:
  • Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman, Koreksi Total Ritual Shalat, Pustaka Azzam 1993.
  • Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sifat Shalat Nabi, Media Hidayah 2000.




Tidak Cukup dalam Hati!
Terus Basahi Lisan dengan Dzikir pada Allah!

Janganlah sampai lisan kita lalai dari dzikir pada Allah. Basahnya lisan dengan dzikir yang membuat hati ini hidup. Dzikir yang membuat kita semangat mengurangi kehidupan. Dzikir kepada Allah yang membuat kita terangkat dari kesulitan.

Lisan ini diperintahkan untuk berdzikir setiap saat...
Dari ‘Abdullah bin Busr, ia berkata,
جَاءَ أَعْرَابِيَّانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ أَحَدُهُمَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». وَقَالَ الآخَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَمُرْنِى بِأَمْرٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. فَقَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْباً مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ »

Ada dua orang Arab (badui) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas salah satu dari mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, manusia bagaimanakah yang baik?” “Yang panjang umurnya dan baik amalannya,” jawab Beliau. Salah satunya lagi bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam amat banyak. Perintahkanlah padaku suatu amalan yang bisa kubergantung padanya.” “Hendaklah lisanmu selalu basah untuk berdzikir pada Allah,” jawab Beliau. (HR Ahmad 4: 188, sanad shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Hadits ini menunjukkan bahwa dzikir itu dilakukan setiap saat, bukan hanya di masjid, sampai di sekitar orang-orang yang lalai dari dzikir, kita pun diperintahkan untuk tetap berdzikir.

Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika hati seseorang terus berdzikir pada Allah maka ia seperti berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar lalu ia menggerakkan kedua bibirnya untuk berdzikir, maka itu lebih baik.” (Lihat Jaami’ul wal Hikam, 2: 524). Dinyatakan lebih baik karena orang yang berdzikir di pasar berarti berdzikir di kala orang-orang pada lalai. Para pedagang dan konsumen tentu lebih sibuk dengan tawar menawar mereka dan jarang yang ambil peduli untuk sedikit mengingat Allah barang sejenak.

Lihatlah contoh ulama salaf. Kata Ibnu Rajab Al Hambali setelah membawakan perkataan Abu ‘Ubaidah di atas, beliau mengatakan bahwa sebagian salaf ada yang bersengaja ke pasar hanya untuk berdzikir di sekitar orang-orang yang lalai dari mengingat Allah. Ibnu Rajab pun menceritakan bahwa ada dua orang yang sempat berjumpa di pasar. Lalu salah satu dari mereka berkata, “Mari sini, mari kita mengingat Allah di saat orang-orang pada lalai dari-Nya.” Mereka pun menepi dan menjauh dari keramaian, lantas mereka pun mengingat Allah. Lalu mereka berpisah dan salah satu dari mereka meninggal dunia. Dalam mimpi, salah satunya bertemu lagi temannya. Di mimpi tersebut, temannya berkata, “Aku merasakan bahwa Allah mengampuni dosa kita di sore itu dikarenakan kita berjumpa di pasar (dan lantas mengingat Allah).” Lihat Jaami’ul wal Hikam, 2: 524.

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

[dari berbagai sumber]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar